0
Gledek-gledek di Suhu Minus
Posted by Line's Corner
on
3:41 AM
Sebagian dari koper kami
Inilah sebutan kami
untuk satu kegiatan yang tidak pernah kami lupakan, gledek-gledek. Bersama
dengan 9 orang lainnya dari kampus ITS, saya pergi ke Amerika untuk mengikuti
kompetisi MUN internasional di Boston. Kami ber10 dibekali dengan segudang
bawaan yang luar biasa banyak. Bahkan beberapa ada yang bawa lebih dari satu koper.
Masih bawa tas punggung pula. Yang membuat tambah berat adalah, di Amerika
sedang musim salju. Alhasil, kami tak hanya menahan berat, tapi juga dingginnya
angin salju Amerika.
Kota New York. Kota
kami pertama menginjakkan kaki di Negeri Paman Sam, Februari 2015. Kesan kami
pertama, senang dan Excited. Most of us, ini adalah salju pertama kami,
termasuk saya tentunya. Perjalanan pertama kami dimulai dengan bis. Sebelum ke
tempat bis, kami harus rela-rela menggeret koper kami yang bejibun, berbaris
ber10 layaknya rombongan haji yang nyasar ngga tahu kemana. Suara koper kami
yang khas, gedek-gledek, begitu kami menyebutnya membat kami selalu ingat akan
apa yang kami lakukan selama di Amerika dengan koper-koper kami.
Masalahnya, tidak
sekali dua kali kami harus gledek-gledek dengan koper-koper berat ini,
berkali-kali. Bahkan pernah hampir tiap hari. Capek, pasti. Tapi seru dan
teringat.
Pernah di Kota
Washington DC, kami berjalan dari Bus station menuju hotel yang lumayan jauh,
karena kami pada dasarnya belum tahu hotel itu dimana, jadinya sempat agak
salah ambil jalan. Dan waktu kami mau menyebrang jalan, malam hari, dingin,
salju mengeras di samping-samping jalan, tiba-tiba ada mobil lewat kemudian
memelankan kecepatannya. Cuek, kamipun tetap jalan. Tetap lurus, ada satu yang
memimpin di depan. Lucu, tapi waktu praktek, ga kuat, dinginnya poll. Di
Washington memang suhunya tidak se-ekstem di Boston. Tapi yang membuat badan
terasa sangat dingin adalah anginnya. Angin yang menerpa sekujur badan ini yang
membuat udara sangat tidak bersahabat. Setelah hampir nyampai di depan Hotel
yang akan kami tempati, kami menengok ke belakang dan baru menyadari bahwa
jalan yang kami sebrangi tadi adalah jalan tol. No! Berarti kita tadi memaksa
mobil di jalan tol berhenti nungguin kita gledek gledek ga jelas. Haha… Unntung
sopirnya sabar. Kalo ngga, bisa di klakson tadi.
Di Boston, pertama kali
kami datang, kami harus naik bis dengan bawaan berubel-ubel banyak di tangan
kanan, kiri dan pundak kami. Di pintu masuk bis, kami harus membayar USD2.25
(kalo ngga salah, seinget saya segini). Koin dollar harus dimasukkan di tempat
dekat pak sopir. Susah dengan sistem dollar yang bayarnya pake koma koma dan
pake sen sen, kami kelamaan di rogoh-rogoh saku mencari uang sen sen kembalian
jajanan tadi siang. Atau yang belum pernah mecah dollarnya, pasti lebih bingung karena
susah mendapat kembalian, apalagi kalau uang kita USD100. Bisa ngga balik uang dimasukin.
Ada seorang pria yang berbaris ke-11, di belakang rombongan kami, dia terlihat
geram melihat kami yang dari tadi lama satu persatu memasukkan koin, menghitung
agar pas. Sang sopirpun akhirnya tak sabar dan menyuruh kami semua masuk.
Beberapa dari kami yang belum bayar digratiskan. Yah, sebenarnya kesadaran saja
sih masalah mengaku sudah bayar atau belum. Hem…
Kebanyakan orang
Amerika menggunakan kartu kredit dalam transaksi apapun. Lebih cepat dan lebih
mudah, bahkan untuk ukuran alat transportasi umum sekalipun. Tapi memang kalau
dipikir iya juga, kartu kredit memudahkan kita
dalam bertransaksi apapun.
Gledek-gledek belum
berakhir.
Kami ber10 masih harus
membelah dingginnya malam kota Boston di tengah salju yang menumpuk setinggi
manusia di pingir-pinggir jalan. Jalanan yang becek akibat salju dan susah
dilalui, membuat kami semakin susah dalam membawa barang-barang kami. We saw no taxi at that night. Kalau adapun,
sayang, nanggung itungannya kalau naik taxi. Jalanpun sebenarnya lumayan jauh,
tapi kami memilih jalan kaki karena kami pengen selalu merasakan hangatnya kebersamaan yang
manis ini. Hem…
Tim kami ada 3 cewe,
kami menyebut mereka cewe super karena mereka kuat dan rela menggeret koper sama
seperti kami yang laki-laki. Untung ini cewe-cewe teknik ITS, jadinya pasti
tangguh dan kuat. Haha... Tapi pada faktanya cewe-cewe di tim ini harus diakui
ketangguhannya mulai dari menyebar proposal yang tiada henti, latihan
menyiapkan diri buat lomba yang tak kunjung reda, dan pusing-pusing memikirkan
solusi keuangan untuk bisa berangkat tiap hari yang sangat memakan pikiran dan tenaga.
Kembali lagi kami
gledek-gledek.
Sempat kami mengalami
peristiwa naas gledek-gledek paling fenomenal, saat kami dari New York menuju
tempat penginapan kami yang ternyata bukan di New York, tapi Newark. Sampailah
kami di Newark, tengah malam, musim dingin, jalanan besar sepi, hanya ada angin
yang berhembus kencang. Tidak ada internet, karena bukan wifi spot. Alhasil ada teman kami yang rela berpaket internet roaming, thank God. Bermodal GPS, kami mondar-mandir menyusuri jalanan kota
Newark yang agak kotor, dingin dan kami belum istirahat setelah perjalanan yang
cukup panjang. Berusaha mencari bis nomor berapa yang tepat menuju ke hotel tujuan. Menunggu lama, belum juga melihat bis yang dinanti, kami
mencoba berjalan lurus, lurus dan tak tahu berujung dimana. Sampai kami capek
dan merasa we are nowhere. God please help us.
Berdoa, komat-kamit
dalam hati juga sembari mencari jalan
keluar, akhirnya kami nemu bisnya, dannnn… bisnya ada di sebrang jalan, kemudian
pergi secepat kilat begitu saja. Rasanya pengen nangis dan pulang ke Indonesia.
Haha…Hanya satu yang ada di pikiran kami saat itu, tampat hangat yang bisa
dipakai menyandarkan badan. Hahhh.
Hingga pada akhirnya
bis yang sebenarnya datang. Horey. Kami naik bis, berasa lebih hangat. Berasa
menemukan kehidupan. Ujung jemari dan telinga sudah mati rasa akibat terlalu
lama di luar. Beberapa menit kemudian, sampai juga di hotel yang akan kami
tinggali. Sesegera mungkin kami check-in dan masuk ke kamar, kemudian istirahat.
Meski lelah, hari-hari selanjutnya kami tetap semangat dalam menyongsong
pengalaman penuh gledek-gledek (lagi).
Post a Comment