WELCOME to MY BLOG

WELCOME to MY BLOG
0

JUEMUN (Japan University English Model United Nations) Gallery

Posted by Line's Corner on 9:04 PM
Juni - Juli 2014 lalu, saya bersama teman saya Yabes David berkesempatan mengikuti kompetisi MUN di Jepang, namanya Japan University English Model United Nations (JUEMUN), betempat di Kobe City University. Ini adalah kali pertama kami menginjakkan kaki di negeri sakura. Kesan kami, Jepang merupakan negara yang sangat teratur dan bersih. sangat tepat waktu dan disiplin. Teknologi-teknologi terapannya jago lah pokoknya. 

JUEMUN berlangsung selama 3 hari (27-29 Juni 2014). MUN kali ini merupakan MUN saya kedua setelah UPESMUN di India Februari 2014 silam. Beruntung saya di sana bertemu dengan banyak teman-teman baru dari berbagai negara di dunia. 

Setelah lomba, kami menyempatkan berkeliling ke kota Osaka dan Sendai. Rasanya kurang lengkap kalau tidak mengenal budaya Jepang lebih jauh. Kami mengunjungi beberapa tempat yang memang menjadi icon 3 kota yang kami kunjungi (Osaka, Kobe, Sendai). Meski belum sempat ke Tokyo (Karena ternatasnya waktu), namun kami senang bisa mengenal Jepang dan tahu Jepang secara langsung. 

Kalau mau keliling kota, menikmati tempat wisata-wisatanya, lebih baik beli tiket loople bus yang akan mengantarkan Anda ke beberapa spot menarik di kota yang bersangkutan. Dijamin seru.

Pra keberangkatan dari Juanda International Airport-Surabaya


Transit di Ngurah Rai International Airport-Denpasar-Bali 


Tepat sebelum take off dari Bali


Osaka (KIX): tepat sebelum meninggalkan kabin. Bersama Sugumi-pramugari garuda asal Jepang

 

JUEMUN: Conference break


I was speaking in the moderated caucus



Just after the debate has closed


After closing ceremony


All JUEMUN 2014 delegates


Delegates from Indonesia: ITS, UI, President University, UNDIP


This building is like European Building, It's just next to Osaka Castle


Osaka Castle


Just before entering Osaka castle


Osaka: Universal Studio Japan


Setelah dari Kobe dan Osaka, Yabes dan saya mengunjungi Sendai. Saya ingin bertemu Dewi, teman SMA saya yang sekarang kuliah di Tohoku University dengan beasiswa. Keren ya dia.


Tohoku University: di balik pohon ini sedang ada dosen yang lagi ngajar di kelas


Kami di kampus Teknik Tohoku


Kampus Mechanical Engineering Tohoku University



Akhirnya ketemu juga. Next to me: Dewi


Kampus Tohoku siang hari


Ini ceritanya (lumayan) capek habis keliling-keliling kampus Tohoku


Ini di sebuah kuil di Sendai


(masih) Di kuil bersama Yabes


Ternyata ini isi kuilnya


Ini di salah satu tempat peribadatan masyarakat Jepang


Di sini saya menemukan banyak kebudayaan-kebudayaan Jepang


Nemu kastil lain di Sendai


Malam harinya, saya dan Yabes mencoba keliling sendiri (tanpa guidance dari Dewi) mencari makan dekat tempat kami menginap. Dan kami singgah di sini, ternyata, porsinyaaa (super) banyak.
Inilah makanan Pakistan.


Kalau di Jepang, pembangunan terjadi secara merata. Gedung-gedung, transportasi dan teknologi tersebar merata dengan baik


Yabes-Saya-Bang Rifqi (Mahasiswa S3 Tohoku): memburu oleh-oleh


Masih di Sendai, di sini pusat perbelanjaan mulai dari yang paling murah (murahnya Jepang) sampai yang paling mahal ada


Hari terakhir di Sendai. Teman-teman yang (semoga selalu) baik hati ini mengantar saya dan Yabes ke Sendai station


Selfie dulu sebelum meninggalkan Sendai


Kereta balik ke rumah sudah menjemput


Akhirnya sampai juga di Sendai Airport, siap melakukan perjalanan SDJ-KIX.
Untuk check in pesawat "peach" ini kami perlu melakukan perjuangan (keras) di meja check in yang penuh drama
(http://achmad3rizal3.blogspot.com/2015/04/bertengkar-dengan-petugas-check-in-di.html)


Keesokan harinya saya dan Yabes kembali ke Indonesia dari Osaka ke Surabaya via Denpasar (KIX-DPS-SUB). Terima kasih Dewi, Bang Rifqi dkk yang sudah mengajak kami jalan-jalan di Sendai. Kapan-kapan ketemu lagi.



5

Mimpi Sejuta Bintang

Posted by Line's Corner on 7:32 PM


Pengalaman mencicipi negeri India yang penuh drama, bertemu dengan diplomat PBB di Jepang, merasakan dinginnya salju Amerika dan menjadi pembicara TEDx ITS adalah sebagian perlajalanan ini menempuh mimpi sejuta bintang

Dulu sempat terpikir bahwa saya akan jadi buruh tani atau mandor atau bahkan pecangkul sawah. Kerja apapun lah yang penting halal, pokoknya bahagia hidup di desa bareng keluarga. Hanya ingin menjadi apa yang seperti yang bapak saya kerjakan. Serasa mimpi saya waktu itu pendek, mimpi yang semua orangpun bisa mewujudkannya. 

Nama saya Achmad Rizal Mustaqim. Bapak saya kerja di sawah. Setiap hari harus bersahabat dengan panas terik yang membakar punggungnya demi mendapat sesuap nasi. Ibu saya bantu-bantu sekadarnya dan lebih fokus menjadi ibu rumah tangga. Yang membuat saya bercita-cita pendek adalah fakta bahwa saya hidup dalam keterbatasan ekonomi dan lingkungan bergaul saya. Tinggal bersama dengan orang-orang desa yang setiap hari nyawah, bukan tidak mungkin membuat saya ingin menjadi sama layaknya mereka. Teman-teman bermain di rumah dan sekolah juga ngomongnya tidak jauh-jauh dari layangan, jemlok singit dan lari-lari di sawah. Semua tidak jauh dari sawah. 

Setelah saya dewasa saya baru sadar. Berpikir menjadi kuli sawah ternyata hanya mimpi yang terlalu pendek, mimpi yang bisa-biasa saja, bahkan tidak ada sangar-sangarnya sekalipun. Untunglah saya dikaruniai kecerdasan yang lebih dari teman-teman saya. Secara rutin, setiap tahunnya saya menerima raport dengan penghargaan juara kelas, selalu, dari SD sampai SMP. Muter-muter jadi juara I, II dan III. Alhamdulillah seringnya juara I. 

Berbekal menjadi lulusan kedua terbaik di SMP, saya memberanikan diri mendaftar sebuah beasiswa bernilai USD 15,000, Sampoerna Academy di SMAN 10 Malang. Beasiswa yang menyaring lebih dari 2600 pendaftar ini memang bergengsi dan terkenal seantero Indonesia. Seleksinya se Jawa Timur. Tapi susahnya Masya Allah. Ribet dan banyak syarat ini itu. Dari proses seleksi berkas, psikotes, akademik, FGD, wawancara sampai home visit, akhirnya saya lolos menjadi salah satu dari 150 Sampoerna Academy Scholars. Sangat tidak disangka-sangka. Wong ndeso, anak tani, bisa sekolah di sekolah internasional.

Dengan modal bahasa inggris saya yang lumayan, saya mudah menyesuaikan dengan lingkungan kurikulum sekolah yang mengadopsi kurikulum International General Certificate of Secondary Education (IGCSE) Cambridge ini. 

Saya kemudian dibesarkan di asrama, diajari bagaimana menjadi seorang intelektual yang memiliki nilai leadership dan moral value yang tinggi. Di SMA, saya berhasil menyabet puluhan prestasi. Bagi saya, ada kebanggaan tersendiri kalau bisa menyumbangkan piala-piala di lemari prestasi sekolah. 

Lulus SMA, saya sudah bisa berpikir maju dan bercita-cita tinggi. Bukan lagi menjadi kuli tani atau nyangkul di sawah. Bapak kini berharap lebih kepada saya. Anak pertama, laki-laki pula. Sudah pasti menjadi harapan keluarga. Inginnya bapak saya menjadi juragan, atau  kerja di perusahaan bonafit yang menggaji pekerjanya dengan upah yang tinggi. “Sebenarnya jadi apapun le, yang penting bisa ngangkat derajat orang tua.”

Memberanikan diri daftar kuliah, meski belum tahu dana dapat dari mana, saya memilih jurusan teknik mesin ITS. Jurusan yang kata orang menjanjikan gaji besar kalau sudah lulus nanti. Sembari jalan di awal saya menjadi maba, saya daftar Etos. Kedengarannya nama beasiswa ini tidak asing di telinga. Bermodal berani, saya mengumpulkan berkas meski rela-relaan harus pulang mengurus surat ini itu, foto kopi sana sini dan mengisi semua lembar-lembar form yang diperlukan. Saya mengikuti semua prosedurnya sampai wawancaranya juga. 

Hasinya saya LOLOS. 

Mau jumpalitan kegirangan, seneng tidak karuan karena saya dapat beasiswa untuk kuliah. Duh duh, siapa sangka saya bisa seberuntung ini. Berita dapat beasiswa ini datang sekaligus menutup keputusasaan saya untuk tidak melanjutkan pendidikan. Sungguh senang. 

Beastudi Etos, di sinilah saya diajari bagaimana menjadi mahasiswa yang tidak biasa. Saya mulai merajut satu per satu mimpi-mimpi saya. Dikenalkan dengan puluhan kisah kisah inspiratif, hati saya terketuk untuk menjadi orang yang lebih dari orang pada umumnya. Saya tergerak ingin menjadi yang terbaik. 

Berbekal asrama dan pembinaan yang luar biasa, saya belajar arti menjadi orang yang sederhana tingkahnya namun tinggi mimpinya, berani menjulang langit. 

Di mulai dari majelis ilmu sebelum matahari terbit, bersama dengan mahasiswa inspiratif lainnya, saya menuliskan 100 mimpi saya. saya tulis semua apa yang saya cita-citakan, tidak perduli mau orang berkata apa. Mau orang tertawa. Terserah. Yang penting ini mimpi saya. Semua saya tulis, mau kelihatannya mungkin atau tidak mungkin, yang penting satu per satu saya tulis. 

Rajutan mimpi-mimpi ini kini bukan hanya sebuah tulisan belaka. Saya yang kini duduk di tahun ketiga ini telah mencoret sebagian besar mimpi-mimpi tersebut. Pergi ke luar negeri, memenangkan lomba tingkat internasional, menjadi pembicara di forum besar adalah beberapa contohnya. Allah pada akhirnya mengabulkannya satu demi satu. 

Saat saya bermimpi pergi ke luar negeri, saya dikaruniai kesempatan menghirup udara Thailand, India, Jepang, Malaysia, Kuwait, UK dan Amerika. Saat saya berkeinginan memenangkan lomba di tingkat internasional, pada akhirnya saya bisa membawa pulang piala lomba debat simulasi PBB dari India dan Jepang. Saat saya bercita-cita menjadi pembicara di forum besar, pada akhirnya tahun 2014 kemarin saya diberi kesempatan untuk menjadi speaker TEDx ITS. Ternyata keterbatasan bukan menjadi alasan seseorang berkembang dan menjadi sukses.

Hanya mereka yang menggenggam keinginan meraih mimpi rapat-rapatlah yang mampu bertahan mewujudkan mimpinya. Saya hanya orang kecil yang dulu sering diremehkan orang. Mimpi itu hak semua orang. Siapapun berhak mewujudkan mimpi masing-masing. Prinsipnya adalah tidak boleh menyerah. 

Mimpi selanjutnya adalah menjadi diplomat PBB. Jurusan saya teknik mesin. Yang ingin saya wujudkan = UN diplomat on energy. Memang, saya sadar ini bukan mimpi yang umum. Bukan mimpi menjadi direktur atau kerja kantoran seperti kebanyakan orang. Silahkan tertawa. Toh dulu semua mimpi-mimpi saya adalah bahan tawaan orang yang kini satu demi satu berhasil saya coret. Dengan izin Allah, saya akan selalu berusaha mengejar bintang-bintang yang menjadi harapan saya dan keluarga. Mungkin nanti judul ceritanya, “Bertolak ke New York, Anak Tani ini menjadi diplomat internasional PBB”. Wallahua’lam bisshawaf.

0

Bertengkar dengan Petugas Check In di Jepang

Posted by Line's Corner on 4:06 AM

Saat itu saya sedang bersama teman saya, Yabes berada di airport Sendai. Kami berniat kembali pulang ke Indonesia setelah seminggu berada di Jepang mengikuti JUEMUN. Ada sebuah kejadian yang sampai sekarang selalu membuat saya ketawa kalau mengingatnya. Andaikan saya tidak selamat waktu itu pasti saya udah ketinggalan pesawat saya ke Indonesia.

Ceritanya, malam itu Yabes dan saya sedang menunggu di depan tempat check in di bandara Sendai. Karena gate check in belum buka, kami sempatkan untuk berlalu lalang dan beriternet ria, meanfaatkan wifi bandara. FYI, wifi manapun di Jepang kualitasnya sama, super cepat. Beda sekali dengan yang kita alami di Indonesia, di satu tempat dan di tempat lain kecepatannya beda-beda, dan pasti banyak yang lemot. Ok, pada saat gate dibuka, kami maju di row awal. Tiket kami diperiksa, dan jreng!!! Mbak-mbak petugas nya bilang kami harus bayar bagasi. Waduh! Mbaknya bilang karena kami ini mengganti jadwal penerbangan kami yang semula kemaren menjadi hari ini, secara otomatis bagasi kami tercancel. Maigats. Kenapa baru bilang sekarang Mbak! Saya udah ngotot ke mbaknya kalau pembayaran kami semua sudah beres. Sebenarnya sih yang membelikan tiket Sendai-Osaka ini bukan saya, tapi teman SMA saya yang sekarang kuliah di Tohioku, Dewi namanya. Dewi bilang semua udah OK, tinggal ngeprint E-ticket dan kami siap masuk ke pesawat.

“You may enter to the cabin, but not your baggage,” kata mbaknya sambil terbata-bata dalam mengucapkan bahasa inggris. OK, mungkin ada sebuah kesalahan. Dan kami yang mengalah, saya keluarkan sejumlah uang yang diminta mbak-mbak itu. “NO, sir! Not cash, credit card.” Mamppus, credit card siapa yang mau dipake. Secara saya dan Yabes ini belum punya credit card saat itu. Hem, kepanikan kami meningkat, mengingat kami sudah menyebabkan antrian check in yang panjang di belakang kami. Karena agak kesel, mbaknya menggeser saya dan Yabes ke samping kanan, supaya orang-orang lain bisa check in. Saya mencoba melobi mbaknya dengan cara apapun, tetap tidak bisa. Apalagi mbaknya agak susah bahasa inggris, dan saya tidak bisa bahasa Jepang. Sampai susahnya berkomunikasi dan takiut misunderstanding, mbaknya menggunakan translator elektronik, mengetik kata jepangnya, translate ke inggris baru ditunjukkan ke saya. Oh men, capek. Hati semakin deg-degan.

H-15 menit penutupan gate check in. apa yang harus saya perbuat. Saya dan Yabes panik. Hem, kalau kami tidak ke Osaka malam itu juga, saya harus rela ketinggalan pesawat garuda saya ke Indonesia esok paginya. “Ok, sir you may get inside, but your luggage must be sent to Osaka separately.” Lah! Nyampainya kapan mbak? Tomorrow evening. Hilang dong pesawat saya! Mampus, beli pesawat ga segampang itu. Dikira, ambil duit tinggal balik tangan!

H-10 menit!!! Tambah pengen pipis saking paniknya! Saya kehabisan ide, saya telpon Dewi. Untung saya nyimpen nomornya. Dan saya masih ingat, saya masih punya cukup pulsa buat roaming. Ok, tersambung. Tutt… Hallo Dew, bisa tolong aku? Aku mau check in Peach, tapi mbak-mbak petugas nya bilang tiket yg kamu belikan ini belum termasuk bagasi, hangus katanya, gara-gara kita pindah jadwal. “Hem… sstt, bentar ya, aku masih di kereta. Ntar ak telpon lagi.” Demi apa Dewi mematikan telepon. Dia lagi di kereta, dan setahu saya emang di kereta Jepang dilarang telponan. Maigat. Ini udh kehilangan akal. Udah mau menyerah. Pas H-5 menit, Bang Rifqi menelpon. Mahasiswa S3 Tohoku yang banyak berjasa memberikan saya dan Yabes akomodasi GRATIS. Saya angkat, Bang, tolong bantu ngomong ke mbak-mbak ini. Saya berikan handphone saya, dan mereka bercakap-cakap dalam bahasa Jepang yang saya sama sekali tidak paham. Tiba-tiba mbak-mbak ini mengeklik ini itu, menyebutkan angka-angka dan KLIK! Koper saya dibendel SDJ-KIX. Yeey! H-3 menit saat sudah sepi tidak ada antrian, koper kami semua masuk. Urusan beres.

kami berjalan masuk ke ruang tunggu dengan senang dan mengusap keringat. Kamilah penumpang pesawat Peach saat itu yang paling terakhir masuk ruang tunggu. Thanks to Bang Rifqi dan Dewi. Tanpa mereka, gatau deh. Mungkin saya masih meninggalkan koper saya di Jepang. Hehe…




Inilah Pesawat yang kami nanti-nantikan


Saya juga agak merasa bersalah setelah bertengkar agak alot dengan petugas check in tadi. Waktu open gate masuk ke pesawat, mbak-mbak tadi ada di sana. Kami lewat, saya lihat ke mereka. Mereka menunduk, haha. Mang enak berurusan sama orang Indonesia. Kalo udah marah, hem, semua jurus keluar. Kasian juga mbak-mbak tadi, tidak seharusnya kita marah, yah arena panik aja sih. Lagian susah amat diajak kompromi.

Pelajaran: Bagi kalian yang suka traveling, cepetan punya kartu kredit. Selain mempermudah pembayaran sana sini, kartu ini praktis dibawa kemana-mana dan ngga ribet.


0

Gledek-gledek di Suhu Minus

Posted by Line's Corner on 3:41 AM
Sebagian dari koper kami

Inilah sebutan kami untuk satu kegiatan yang tidak pernah kami lupakan, gledek-gledek. Bersama dengan 9 orang lainnya dari kampus ITS, saya pergi ke Amerika untuk mengikuti kompetisi MUN internasional di Boston. Kami ber10 dibekali dengan segudang bawaan yang luar biasa banyak. Bahkan beberapa ada yang bawa lebih dari satu koper. Masih bawa tas punggung pula. Yang membuat tambah berat adalah, di Amerika sedang musim salju. Alhasil, kami tak hanya menahan berat, tapi juga dingginnya angin salju Amerika. 

Kota New York. Kota kami pertama menginjakkan kaki di Negeri Paman Sam, Februari 2015. Kesan kami pertama, senang dan Excited. Most of us, ini adalah salju pertama kami, termasuk saya tentunya. Perjalanan pertama kami dimulai dengan bis. Sebelum ke tempat bis, kami harus rela-rela menggeret koper kami yang bejibun, berbaris ber10 layaknya rombongan haji yang nyasar ngga tahu kemana. Suara koper kami yang khas, gedek-gledek, begitu kami menyebutnya membat kami selalu ingat akan apa yang kami lakukan selama di Amerika dengan koper-koper kami. 

Masalahnya, tidak sekali dua kali kami harus gledek-gledek dengan koper-koper berat ini, berkali-kali. Bahkan pernah hampir tiap hari. Capek, pasti. Tapi seru dan teringat. 

Pernah di Kota Washington DC, kami berjalan dari Bus station menuju hotel yang lumayan jauh, karena kami pada dasarnya belum tahu hotel itu dimana, jadinya sempat agak salah ambil jalan. Dan waktu kami mau menyebrang jalan, malam hari, dingin, salju mengeras di samping-samping jalan, tiba-tiba ada mobil lewat kemudian memelankan kecepatannya. Cuek, kamipun tetap jalan. Tetap lurus, ada satu yang memimpin di depan. Lucu, tapi waktu praktek, ga kuat, dinginnya poll. Di Washington memang suhunya tidak se-ekstem di Boston. Tapi yang membuat badan terasa sangat dingin adalah anginnya. Angin yang menerpa sekujur badan ini yang membuat udara sangat tidak bersahabat. Setelah hampir nyampai di depan Hotel yang akan kami tempati, kami menengok ke belakang dan baru menyadari bahwa jalan yang kami sebrangi tadi adalah jalan tol. No! Berarti kita tadi memaksa mobil di jalan tol berhenti nungguin kita gledek gledek ga jelas. Haha… Unntung sopirnya sabar. Kalo ngga, bisa di klakson tadi. 

Di Boston, pertama kali kami datang, kami harus naik bis dengan bawaan berubel-ubel banyak di tangan kanan, kiri dan pundak kami. Di pintu masuk bis, kami harus membayar USD2.25 (kalo ngga salah, seinget saya segini). Koin dollar harus dimasukkan di tempat dekat pak sopir. Susah dengan sistem dollar yang bayarnya pake koma koma dan pake sen sen, kami kelamaan di rogoh-rogoh saku mencari uang sen sen kembalian jajanan tadi siang. Atau yang belum pernah mecah dollarnya, pasti lebih bingung karena susah mendapat kembalian, apalagi kalau uang kita USD100. Bisa ngga balik uang dimasukin. Ada seorang pria yang berbaris ke-11, di belakang rombongan kami, dia terlihat geram melihat kami yang dari tadi lama satu persatu memasukkan koin, menghitung agar pas. Sang sopirpun akhirnya tak sabar dan menyuruh kami semua masuk. Beberapa dari kami yang belum bayar digratiskan. Yah, sebenarnya kesadaran saja sih masalah mengaku sudah bayar atau belum. Hem…

Kebanyakan orang Amerika menggunakan kartu kredit dalam transaksi apapun. Lebih cepat dan lebih mudah, bahkan untuk ukuran alat transportasi umum sekalipun. Tapi memang kalau dipikir iya juga, kartu kredit memudahkan kita  dalam bertransaksi apapun.

Gledek-gledek belum berakhir.

Kami ber10 masih harus membelah dingginnya malam kota Boston di tengah salju yang menumpuk setinggi manusia di pingir-pinggir jalan. Jalanan yang becek akibat salju dan susah dilalui, membuat kami semakin susah dalam membawa barang-barang kami. We saw no taxi at that night. Kalau adapun, sayang, nanggung itungannya kalau naik taxi. Jalanpun sebenarnya lumayan jauh, tapi kami memilih jalan kaki karena kami pengen selalu merasakan hangatnya kebersamaan yang manis ini. Hem…

Tim kami ada 3 cewe, kami menyebut mereka cewe super karena mereka kuat dan rela menggeret koper sama seperti kami yang laki-laki. Untung ini cewe-cewe teknik ITS, jadinya pasti tangguh dan kuat. Haha... Tapi pada faktanya cewe-cewe di tim ini harus diakui ketangguhannya mulai dari menyebar proposal yang tiada henti, latihan menyiapkan diri buat lomba yang tak kunjung reda, dan pusing-pusing memikirkan solusi keuangan untuk bisa berangkat tiap hari yang sangat memakan pikiran dan tenaga. 

Kembali lagi kami gledek-gledek. 

Sempat kami mengalami peristiwa naas gledek-gledek paling fenomenal, saat kami dari New York menuju tempat penginapan kami yang ternyata bukan di New York, tapi Newark. Sampailah kami di Newark, tengah malam, musim dingin, jalanan besar sepi, hanya ada angin yang berhembus kencang. Tidak ada internet, karena bukan wifi spot. Alhasil ada teman kami yang rela berpaket internet roaming, thank God. Bermodal GPS, kami mondar-mandir menyusuri jalanan kota Newark yang agak kotor, dingin dan kami belum istirahat setelah perjalanan yang cukup panjang. Berusaha mencari bis nomor berapa yang tepat menuju ke hotel tujuan. Menunggu lama, belum juga melihat bis yang dinanti, kami mencoba berjalan lurus, lurus dan tak tahu berujung dimana. Sampai kami capek dan merasa we are nowhere. God please help us

Berdoa, komat-kamit dalam hati juga sembari mencari  jalan keluar, akhirnya kami nemu bisnya, dannnn… bisnya ada di sebrang jalan, kemudian pergi secepat kilat begitu saja. Rasanya pengen nangis dan pulang ke Indonesia. Haha…Hanya satu yang ada di pikiran kami saat itu, tampat hangat yang bisa dipakai menyandarkan badan. Hahhh.

Hingga pada akhirnya bis yang sebenarnya datang. Horey. Kami naik bis, berasa lebih hangat. Berasa menemukan kehidupan. Ujung jemari dan telinga sudah mati rasa akibat terlalu lama di luar. Beberapa menit kemudian, sampai juga di hotel yang akan kami tinggali. Sesegera mungkin kami check-in dan masuk ke kamar, kemudian istirahat. Meski lelah, hari-hari selanjutnya kami tetap semangat dalam menyongsong pengalaman penuh gledek-gledek (lagi).


Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive | Free Blogger Templates created by The Blog Templates