Pengalaman mencicipi negeri India
yang penuh drama, bertemu dengan diplomat PBB di Jepang, merasakan dinginnya salju
Amerika dan menjadi pembicara TEDx ITS adalah sebagian perlajalanan ini
menempuh mimpi sejuta bintang
Dulu
sempat terpikir bahwa saya akan jadi buruh tani atau mandor atau bahkan
pecangkul sawah. Kerja apapun lah yang penting halal, pokoknya bahagia hidup di
desa bareng keluarga. Hanya ingin menjadi apa yang seperti yang bapak saya
kerjakan. Serasa mimpi saya waktu itu pendek, mimpi yang semua orangpun bisa
mewujudkannya.
Nama
saya Achmad Rizal Mustaqim. Bapak saya kerja di sawah. Setiap hari harus
bersahabat dengan panas terik yang membakar punggungnya demi mendapat sesuap
nasi. Ibu saya bantu-bantu sekadarnya dan lebih fokus menjadi ibu rumah tangga.
Yang membuat saya bercita-cita pendek adalah fakta bahwa saya hidup dalam keterbatasan
ekonomi dan lingkungan bergaul saya. Tinggal bersama dengan orang-orang desa
yang setiap hari nyawah, bukan tidak mungkin membuat saya ingin menjadi sama
layaknya mereka. Teman-teman bermain di rumah dan sekolah juga ngomongnya tidak jauh-jauh dari layangan, jemlok singit dan lari-lari di sawah. Semua tidak jauh dari sawah.
Setelah
saya dewasa saya baru sadar. Berpikir menjadi kuli sawah ternyata hanya mimpi
yang terlalu pendek, mimpi yang bisa-biasa saja, bahkan tidak ada sangar-sangarnya sekalipun. Untunglah
saya dikaruniai kecerdasan yang lebih dari teman-teman saya. Secara rutin,
setiap tahunnya saya menerima raport dengan penghargaan juara kelas, selalu,
dari SD sampai SMP. Muter-muter jadi juara I, II dan III. Alhamdulillah seringnya
juara I.
Berbekal
menjadi lulusan kedua terbaik di SMP, saya memberanikan diri mendaftar sebuah
beasiswa bernilai USD 15,000, Sampoerna Academy di SMAN 10 Malang. Beasiswa
yang menyaring lebih dari 2600 pendaftar ini memang bergengsi dan terkenal
seantero Indonesia. Seleksinya se Jawa Timur. Tapi susahnya Masya Allah. Ribet
dan banyak syarat ini itu. Dari proses seleksi berkas, psikotes, akademik, FGD,
wawancara sampai home visit, akhirnya saya lolos menjadi salah satu dari 150 Sampoerna Academy Scholars. Sangat tidak
disangka-sangka. Wong ndeso, anak
tani, bisa sekolah di sekolah internasional.
Dengan
modal bahasa inggris saya yang lumayan, saya mudah menyesuaikan dengan
lingkungan kurikulum sekolah yang mengadopsi kurikulum International General Certificate of Secondary Education (IGCSE) Cambridge ini.
Saya
kemudian dibesarkan di asrama, diajari bagaimana menjadi seorang intelektual
yang memiliki nilai leadership dan moral value yang tinggi. Di SMA, saya
berhasil menyabet puluhan prestasi. Bagi saya, ada kebanggaan tersendiri kalau
bisa menyumbangkan piala-piala di lemari prestasi sekolah.
Lulus
SMA, saya sudah bisa berpikir maju dan bercita-cita tinggi. Bukan lagi menjadi
kuli tani atau nyangkul di sawah. Bapak kini berharap lebih kepada saya. Anak
pertama, laki-laki pula. Sudah pasti menjadi harapan keluarga. Inginnya bapak
saya menjadi juragan, atau kerja di
perusahaan bonafit yang menggaji pekerjanya dengan upah yang tinggi.
“Sebenarnya jadi apapun le, yang penting bisa ngangkat derajat orang tua.”
Memberanikan
diri daftar kuliah, meski belum tahu dana dapat dari mana, saya memilih jurusan
teknik mesin ITS. Jurusan yang kata orang menjanjikan gaji besar kalau sudah
lulus nanti. Sembari jalan di awal saya menjadi maba, saya daftar Etos.
Kedengarannya nama beasiswa ini tidak asing di telinga. Bermodal berani, saya
mengumpulkan berkas meski rela-relaan
harus pulang mengurus surat ini itu, foto kopi sana sini dan mengisi semua lembar-lembar
form yang diperlukan. Saya mengikuti semua prosedurnya sampai wawancaranya
juga.
Hasinya
saya LOLOS.
Mau
jumpalitan kegirangan, seneng tidak
karuan karena saya dapat beasiswa untuk kuliah. Duh duh, siapa sangka saya bisa
seberuntung ini. Berita dapat beasiswa ini datang sekaligus menutup
keputusasaan saya untuk tidak melanjutkan pendidikan. Sungguh senang.
Beastudi
Etos, di sinilah saya diajari bagaimana menjadi mahasiswa yang tidak biasa. Saya
mulai merajut satu per satu mimpi-mimpi saya. Dikenalkan dengan puluhan kisah
kisah inspiratif, hati saya terketuk untuk menjadi orang yang lebih dari orang
pada umumnya. Saya tergerak ingin menjadi yang terbaik.
Berbekal
asrama dan pembinaan yang luar biasa, saya belajar arti menjadi orang yang sederhana
tingkahnya namun tinggi mimpinya, berani menjulang langit.
Di
mulai dari majelis ilmu sebelum matahari terbit, bersama dengan mahasiswa
inspiratif lainnya, saya menuliskan 100 mimpi saya. saya tulis semua apa yang
saya cita-citakan, tidak perduli mau orang berkata apa. Mau orang tertawa.
Terserah. Yang penting ini mimpi saya. Semua saya tulis, mau kelihatannya mungkin
atau tidak mungkin, yang penting satu per satu saya tulis.
Rajutan
mimpi-mimpi ini kini bukan hanya sebuah tulisan belaka. Saya yang kini duduk di
tahun ketiga ini telah mencoret sebagian besar mimpi-mimpi tersebut. Pergi ke
luar negeri, memenangkan lomba tingkat internasional, menjadi pembicara di
forum besar adalah beberapa contohnya. Allah pada akhirnya mengabulkannya satu
demi satu.
Saat
saya bermimpi pergi ke luar negeri, saya dikaruniai kesempatan menghirup udara
Thailand, India, Jepang, Malaysia, Kuwait, UK dan Amerika. Saat saya
berkeinginan memenangkan lomba di tingkat internasional, pada akhirnya saya
bisa membawa pulang piala lomba debat simulasi PBB dari India dan Jepang. Saat
saya bercita-cita menjadi pembicara di forum besar, pada akhirnya tahun 2014
kemarin saya diberi kesempatan untuk menjadi speaker TEDx ITS. Ternyata
keterbatasan bukan menjadi alasan seseorang berkembang dan menjadi sukses.
Hanya
mereka yang menggenggam keinginan meraih mimpi rapat-rapatlah yang mampu
bertahan mewujudkan mimpinya. Saya hanya orang kecil yang dulu sering
diremehkan orang. Mimpi itu hak semua orang. Siapapun berhak mewujudkan mimpi
masing-masing. Prinsipnya adalah tidak boleh menyerah.
Mimpi
selanjutnya adalah menjadi diplomat PBB. Jurusan saya teknik mesin. Yang ingin
saya wujudkan = UN diplomat on energy. Memang, saya sadar ini bukan mimpi yang
umum. Bukan mimpi menjadi direktur atau kerja kantoran seperti kebanyakan orang.
Silahkan tertawa. Toh dulu semua mimpi-mimpi saya adalah bahan tawaan orang
yang kini satu demi satu berhasil saya coret. Dengan izin Allah, saya akan
selalu berusaha mengejar bintang-bintang yang menjadi harapan saya dan
keluarga. Mungkin nanti judul ceritanya, “Bertolak ke New York, Anak Tani ini
menjadi diplomat internasional PBB”. Wallahua’lam bisshawaf.